MONOLOG DI DUA MUSIM


Pagi yang indah, pagi yang aku suka. Ketika musim datang membawa butiran hujan. Suhu yang mengundang untuk terus menyetel selimut tebal diatas kasur dan bantal. Bergegas, seperti anak kecil yang mau berangkat ke sekolah, aku berlari menuju kamar mandi yang siap menerima tubuh yang kumal semalaman. Air dan udara terasa dingin. Tapi lumayan bisa bikin kehangatan dengan secangkir kopi ginseng panas di campur susu kental. “Ugh, nikmat sekali.”

Senikmat dan sehangat kopi yang ku teguk. Aku mengusir rasa dingin dengan sebatang rokok kretek. Iya sih, cukup untuk membuat suhu badan di atas normal. Di musim yang kerap datang menerpa  kota ini. Musim yang cuma dwi musim. Panas dan hujan. Serupa pasangan yang selalu bergantian datang menerpa wajah-wajah pribumi. Serupa kami, maksudnya serupa saya dengan dia dan orang-orang lainnya di dataran pulau ini.

Suasana ini, aku rasa menyenangkan hati. Ya, sesenang hati seorang laki-laki yang di manja seorang bidadari cantik. Rupa elok seperti bunga di hinggapi sebutir hujan yang singgah di kelopak. Sejuk,  dingin dan menyenangkan. Siapa saja aku kira setuju bahwa hujan dan embun adalah harapan dari musim panas. Serupa hujan itu sendiri, memberi kesejukan di setiap butirannya. Begitupun dengan embun, mempunyai makna di setiap resapannya di kala pagi.  

Di pagi ini, keduanya berebut tempat untuk membasahi tanah-tanah yang telah lama berdebu. Begitu juga, seperti bidadari yang duduk di samping seorang pangeran.

Barangkali aku hanya iri saja menyaksikan keindahan alam ini. Sebab aku, aku tak kuasa menolak kehadirannya di sudut pagi,  di sudut kamar yang aku duduki. Jendela yang membiarkan cahaya matahari pagi menelusup ke seluruh ruangan. Seakan membicarakan musim yang terus berganti seiring putaran bumi yang sama sekali kita sering tak merasakan putarannya serupa putaran roda. Namun, aku menikmati keadaan ini.

Seluruh ruangan ini pun  memberikan pantulan dan stimulus ke setiap inci pikiranku. Memberikan gaya dan aliran setiap ransangan yang aku terima. Lalu, aku tuliskan saja kehadiran musim ini di sudut ruang baca dan almari buku yang berdebu. Hanya kata-kata yang bersayap yang ku coba untuk  terbangkan kesudut-sudut imajinasi. Dan membiarkan bermain di ruang tengah antara kau dan aku.

“Hujan, biarkan ia bermain dengan sayapnya dan biarkan sayap-sayap ini menerbangkan aku dan dirinya di ruang musim yang kerap membuat kami terjaga.”

Tanpa kutahu. Waktu yang menjalari setiap ruang kecil dan besar, di manapun berada terus mengalir. Serupa suara-suara yang tak sempat ku teriaki untuk menyapanya di kala pagi. Atau, hanya sedebu musim beterbangan kian kemari di bawa udara. Aku hanya bisa cundang dengan menuliskannya di atas selembar daun Microsoft world dan ujung-ujung tombol laptop yang aku pegang saat ini.
“Oh musim. ajari aku bicara serupa hujan yang berbisik ketika aku mendengarnya jatuh di atap tempat aku berlindung dari dingin.”

Pagi dingin yang pasi, atau pagi yang cukup membekukan darah ini. Mampukah aku menerbangkan sayap-sayap putih yang terbentang serupa fajar terus menjadikannya cahaya di pelipuk mata yang saat itu aku tatap.  Ketika aku berjalan di sudut dan belakang jendela. Jendela dengan kaca yang terbungkai.
Ruangan mulai terasa lebar, dan aku mulai merasa bebas. Menuntun setir, energi yang terus memaksa menuliskannya. Apa yang aku ingat  pada pagi? Hanya sebuah bulan yang semalam begitu terang menyinari sudut-sudut malam yang tak sempat aku sigi ditel-perditelnya. Hanya suara malam menengarai aku pada ruang pendengaran yang mengisi setiap kekosongan dan kehampaan yang kusandarkan pada segumpal daging. Dan aku merasa gigil. Ugh, entah apa, tapi yang kutahu ini benar-benar keyakinan yang ada dan tak pernah padam.
Ibarat kobaran. Aku biarkan perlahan menghangatkan kebekuan yang menjalari   setiap ruang yang hampa. Bermandikan cahaya yang terpantul dari kaca yang serupa diriku.  Aku tatap, aku lirik diri yang selalu merindukan kehangatan serupa musim yang membanggakan kepada bunga dan taman. Sementara taman dan bunga masih serupa hujan dan kemarau yang selalu membiaskan aroma wangi dua wajah yang berbeda.
“Oh taman, walau saja kau sering di singgahi oleh dua musim yang berbeda, bagaimana kalau kau ajari aku menjadi salah satu darinya.”
Khayali memang. Menjadi bagian dari imaji yang saat ini kubangun dari nyenyak dan pulasnya aku di bawa ayunan asmara. Bagai awan yang lembut. Berujung di pandangan yang membuat kita terlena. Mundur dan tersurut  mengambil langkah dan kuda-kuda seperti  untuk memanah. Untuk menancapkan busur ini pada lekuk dan tumbuhnya. Gelumbung yang pias dari temaram warna suci. Putihnya serupa sayap yang lengkung dan busur ini mulai ku tarik seperti kerelaan aku di tariknya menjadi anak panah.
“ Wahai panah yang  tajam, jangan biarkan luka membekas di gumpalan yang saat ini suci.”
Seakan lingkaran, yang membalut bagai cincin. Sublim dan mencair. Seirama gerak do’ a yang telah dilambungkan dengan ludah yang basah di ujung lidah. Lalu mengepul dalam ruang dan langit yang tak terbatas untuk seutas kata, satu, absolute, tak terpisahkan! Membuat anak  panah yang tertarik dari busur. Bidikan dan sasaran, tepat!
Dalam pencapaian yang saat ini diam. Sunyi lalu kembali menggerayangi setiap permukaan dan lingkaran. Masih dua sisi yang berhadapan. Masih dua arah yang menggiurkan. Hanya satu resapan. Kalau kau izinkan aku untuk menjadi. Jadikanlah aku menjadi salah satu dari keduanya. Bukan antaranya. Jika kemarau itu jantan atau hujan itu betina. Oh, bukan, hujan adalah hujan dan kemarau adalah kemarau. Lalu aku, tidak di antaranya.

Sebab yang ku tahu, kedua musim tidak akan pernah hadir bersamaan. Selalu bergantian. Seperti aku menunggu pagi, telah begitu banyak gelap  yang singgah mengganti warnanya. Sebab apa? Musim yang ada dan singgah hanya dua buah musim. Serupa musim  petik oleh tukang kebun. Penjaga taman, namun, seorang tukang tanam selalu terus merawat tumbuh biji pada pokok tunasnya. Maksudku, ia seorang pemanah dan tukang kebun yang kerap berjaga-jaga di tepi ladang.
 Ia pelihara selalu, kuncup mekar, apa lagi ketika sayap-sayap selalu mangajaknya untuk terbang. Bukan terbang bagai kumbang yang hanya singgah, lalu menghisap madunya. Bukan-bukan.  Sebab malaikat selalu melihat dan memahat setiap perjalanannya. Kemana ia pergi dan apa yang ia lakukan bukan suatu kesia-siaan yang sembarangan membuatnya jatuh serampangan, bukan demikan!
“Angin, berbagilah bersama busur panahku,  memecah gumpalan kekeliruan menjadi butiran, yang jelas menjadi hujan, lalu membasahi, dan panas akan selalu di bawa kemarau.”
Dua sisi yang bukan terpisah, tapi bergantian. Tarikan yang semakin meregangkan ekor panah yang ku pegang serupa menekan punggung-punggung tombol laptop. Satu-persatu mempunyai arah yang siap untuk di tekan. Kata-kata. Biarkan ia hidup, serupa aku hidup menuliskannya di suasana di bulan ini, bulan Juli.
Bulan yang masih di paroh almanak. Tahunan yang kerap kita hitung. Namun, aku hanya seperti usia jagung yang masih berambut pirang. Pada musim tanam oleh tukang kebun. Hijau. Bertebaran aku, melihat serupa kau melihatnya. Sama seperti semua orang sama melihatnya. Siapa saja bisa, namun ada rahasia di balik mekar, kembang, dan wanginya bunga dan musim.
Aku hanya kagum. Jika aku di suruh menyentuhnya, yang aku sentuh hanya di tangkai dan di tampuk yang tanpa duri. Walau durinya tetap meruncing bagai dendam yang kian mematuk. Aku tekankan dulu, bahwa takkan ku sentuh, dan aku hanya memegang tampuk yang kau izinkan, serupa aku menjadi salah satu dari musim yang hadir di sini. Di tanah yang kerap kita berpijak kemana kita akan melangkah. lalu, yang ku bayangkan surga itu indah.
“ Aku bukan malaikat, tapi aku dan malaikat dua sisi yang berhadapan.”
Musim takkan jauh meninggalkan. Ingatlah ketika aku hanya berjalan menyusuri taman-taman tempatku belajar  mengembangkan sayap. Bersama setiap pagi. Aku ingin mencapai,  seperti matahari bergerak naik setombak di perupuk langit. Serupa melihat wajah yang benar-benar aku, ingin panah dari  arah yang tepat, dan takkan ku biarkan  lari walau saja penat dan lelah meruntun. Ia datang lalu pergi dan mengganti dirinya dengan semangat yang saat ini berada di ujung telunjuk untuk menetap di sasaran yang tak melesat.  
“Panah, melesatlah bagai kecepatan cahaya di udara.”  Aku selalu ingin berbagi dengan pelataran bumi yang terus berjalan bagi waktu. Pagi yang telah menanjak menuju siang. Dan matahari, dan awan, dan langit, menjadi pandangan yang luas. Bagi siapa saja yang melihat akan merasakan hal yang sama. Disini, di perempatan atau di tepi pantai barat kota tepatnya pulau Sumatra dalam koordinat yang bisa kau lihat di peta. Atau, berita prakiraan cuaca. Aku mencoba membaginya dengan kalimat-kalimat saat ini kau baca.
Diriku, masih seperti kemarin dengan musim yang itu-itu saja. Hanya saja aku berbagi apa adanya di ruang zaman yang kiat mencuat di sela musim-musim. Kemarau telah lewat, dan pagi ini, pagi tiba bersama hujan, sementara siang masih di selimuti awan yang pias. Serupa kedinginan yang masih melekat di tubuhku. Tubuh yang tak ingin lena. Tubuh yang masih kau lihat seperi itu juga. Sebab tak ada yang berubah, hanya waktu yang terus berjalan tanpa sia-sia. Dan aku masih seperti siapa? Akan terus bertanya dalam pengap udara kota, menerbangkan debu-debu co2.
Seperti kisah yang lainnya. Aku ingin menyudahi, bukan mengakhiri kisah ini. Sebab sebentar lagi  siang masih terus berwarna walau saja langit tidak sebiru yang kemarin.  Begitulah musim, yang takkan pernah hadir bersamaan, hanya bergantian, serupa pagi. Ia akan datang, lalu berganti siang. Hingga detik yang masih tersimpan dalam ruang imajinasi yang beku. Nanti dulu, aku hanya ingin ucapkan, “Selamat siang!”
“Mari, minum segelas kopi!” Nikmat sekali.

No comments

Powered by Blogger.