Sadar atau tidak sadar. Saya merasa aneh setelah mendengar penjelasan teman saya. Ia baru sadar kalau ia telah ketinggalan pesawat. Baru lima menit yang lewat. Pesawat itu telah berangkat meninggalkan pacuannya. Entah kapan, pesawat itu muncul kembali di bandara tempat ia berdiri sekarang. Namun, yang ia tahu, ia masih berada dalam ruang chek in untuk pesawat yang akan ia tumpangi.
Aku
pikir, ia bukan sedang berada di sebuah terminal bus kota atau terminal angkutan
kota yang sering macet di jalan raya. Dengan keadaan ini, setiap orang bisa
menyetop angkutan atau berteriak seperti memanggil, “ tunggu bang saya masih
ada urusan!” Sambil berlarian mengejar ketertinggalan. Namun, ketika itu
telepon genggam saya berdering. Saya lihat, ternyata dari teman saya Romi.
“Halo Dik!”
“Ya
hallo!”
“Dik,
saya nggak jadi hari ini berangkat, saya ketinggalan pesawat.”
“Lho,
kok bisa?”
“Yang
jelas, pesawat yang akan saya tumpangi telah berangkat lima menit yang lewat,
saya musti balik ke Bandung!”
“
Hallo, Hallo, Hallo Rom!”
Ternyata
telepon telah di putus. Aku langsung mikir, barangkali teman saya sedang
bercanda, atau ia memang sedang mempermainkan saya. Sebab, dari dua jam yang
lewat saya sedang menaiki tumpangan Bus Kota Dalam Propinsi. Dari jam tiga
sore. Ketika orang-orang sedang bolak-balik di jalan raya. Orang-orang yang
sudah keluar dari jam kerja, jam kantor, jam dinas, atau apa lagi yang namanya
tentang jam. Tapi yang jelas saya harus sampai di bandara jam tujuh malam
tepat.
Dengan
perasaan yang gelisah, aku coba hubungi nomor telepon genggan teman saya. Rupanya
tidak di angkat. Barangkali Adit sedang
dalam perjalanan pula. Saya lihat jam masih jam setengah enam sore. Aku
berkata-kata dalam hati. Kalau di omongin dengan orang yang duduk di sebelah
saya. Bisa saja orang itu tertawa. Justru ia malah bilang. “Barangkali
pesawatnya delay sejam atau dua jam.”
Seperti
penumpang biasa, Aku coba menyabarkan dada dan menenangkan pikiran. Sama
seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya. Jarak antara kota kecamatan dengan
kota tempat bandara bisa ditempuh dalam perjalanan tiga setengah jam atau empat
jam. Dengan keadaan jalan yang tidak macet, semua bisa saja. Untung kota tempat
saya tinggal jalannya tidak sepadat jalan
di Jakarta yang sering di landa macet.
Lihat
saja, geliat kota Jakarta yang seharian sibuk, di jalan raya, di kantoran, di
terminal, dan di pasar-pasar. Orang-orang bergegas mengejar impian masing-masing. Telat sedikit saja, apa pun
bisa terjadi. Bayangkan, seorang pegawai
kantor di pecat cuma gara-gara telat, dan itu di sebabkan oleh jalan yang
macet. Namun, Sang Bos, bakalan tidak menerima alasan itu. Bukan alasan yang
pas.
Memang
begitulah kota. Saya merasa beruntung masih berada di kota yang jumlah
kapasitas jalannya masih berbanding lurus dengan jumlah kendaraannya. Kalau
saja di hitung, berapa perusahaan mobil
dan kendaraan roda dua mengeluarkan produksinya setiap hari. Sementara ruas
jalan tidak pernah di benahi. Namun saya kira, lebih baik saya tidur dalam perjalanan ini. Biar tenang. Sebelum
saya tertidur saya sempat melihat jam di telepon genggam saya, dan saya sempat bertanya
dengan orang yang duduk di sebelah saya.
“Mbak, ada ya orang ketinggalan pesawat?”
“Hmm hmm?”
Mbak-mbak
yang ada di sebelah saya cuma tersenyum. Memberikan respon yang lumayan
bersahabat. Seolah berusaha mencerna apa yang barusan ia dengar tentang
percakapan saya. Wajar, kalau saya sedang nelpon dalam bus agak keras suara.
Sebab, desau angin dan bunyi klakson mobil sering membuat pendengaran tidak
nyaman. Makanya, suara parau saya mencairkan suasana dalam bus yang berisi
sekitar sepuluh orang.
Dalam
perjalanan yang melelahkan. Mobil terus
berjalan dengan kecepatan yang memang tak bisa saya tebak. Dalam pikiran saya
hanya bagaimana sampai di bandara jam tujuh malam tepat. Tepatnya jam 19.00 WIB.
Karena saya musti jemput teman saya yang sudah lama tidak pulang kampung. Ia
merantau lumayan jauh. Katanya, ia bekerja freelance di sebuah rumah produksi
di Jakarta. Setelah ia tamat dari sebuah universitas ternama di kota kembang.
Saya
kira, pertemuan ini bakal hangat. Sudah empat tahun silam tidak pernah ketemu.
Masa-masa SMA memang sering menjadi alasan yang indah untuk di kenang. Siapa
saja, aku rasa bakalan tidak ada orang yang mengatakan tidak untuk hal yang demikian. Bagi yang merasa anak sekolah,
tentunya sekolah menengah atas, akan menganggap masa-masa ini menjadi momen
yang tidak terlupakan. Masa yang indah bagi usia tujuh belasan. Dan masa yang
kabur bagi masa-masa setelah menjalani kuliah atau kerja.
Mengapa
tidak, Dengan sadar atau tidak sadar. Bagi siapa yang pernah terlambat masuk
gerbang sekolah menjelang upacara bendera di Senin pagi. Mereka akan menerima
ganjaran berupa hormat pada tiang bendera. Ada juga yang di suruh untuk membersihkan
sampah di halaman sekolah. Setiap mereka yang punya alasan cuma gara-gara macet
bakalan tidak terima. Nah, sama dengan apa yang baru saja di alami teman saya
di belahan pulau sana.
Telepon
genggam saya berdering lagi. Ku angkat, rupanya ada pesan singkat. Langsung
saja ku buka dan ku baca. Dari Romi,
“Dik,
saya benar-benar tidak jadi berangkat hari ini. Pesawat itu telah berangkat,
saya balik lagi ke Bandung. Nanti kalau saya mau pulang, saya kabari lagi.”
Aku
merasa heran, aneh memang. Dan membuat aku berpikir. Teman saya yang selama ini
sudah lama berada di kota tempat masyarakat urban yang menuntut untuk tepat waktu. Kota tempatnya
orang-orang berlarian mengejar mimpi. Kota yang menjadi sasaran imigran lokal
untuk mengadu untung. Kok, teman saya
ini bisa ketinggalan pesawat. Karena itu aku teringat lagunya Chantal Creavizuk.
Beberapa petikan lirik lagunya, “some living on a jet plane, I don’t know when
I’l be back again.” Ku coba untuk mengirim pesan balasan.
“Rom,
teori jungkir balik, I don’t know when the plane back again!”
“Haha”
“Lho,
kok ketawa?”
Sms
ini dibalas kembali. Tak habis pikir
saya, Jelas-jelas dia yang ketinggalan pesawat malahan ketawa dengan membalas
pesan singkat yang saya kirim. Menurut saya dia bakalan ngumpat. Seperti
seorang yang di hukum waktu SMA. Siapa yang terlambat harus hormat ke tiang
bendera merah putih selama jam pelajaran, atau dengan wajah menyimpan malu di
saksikan oleh teman-teman lain memungut
sampah yang bertebaran di
halaman.
Ku
lihat kembali jam di telepon genggam. Ternyata masih satu jam lagi bakalan
sampai di batas kota. Ku lihat ke samping kanan, Seorang mbak-mbak dengan wajah
lesu memandang ke jendela kaca. Garis-garis jalan yang putih, dan rel-rel
kereta yang lurus, sesekali menelikung di perempatan setelah jembatan.
Jalan-jalan dan lampu kota seolah memberikan warna yang terang. Menandakan sekali
kalau bus telah memasuki halaman kota. Juga, mobil-mobil tak pernah
henti-hentinya berjalan.
Saya
merasa lelah dan bukan saja saya yang
merasa lelah. Semua orangpun saya kira lelah hari ini. Cuaca yang panas, di
tambah lagi dengan debu-debu kota yang beterbangan sehabis mobil-mobil
berjalan. Membakar gas-gas dan menyisakan Co2. Tanpa sadar atau tidak sadar,
aku telah berada di kamar kontrakan.
Aku
musti mengatur jadwal untuk nanti malam. Sebab dengan keadaan yang tak bisa di
pungkiri. Aku tidak jadi ke bandara untuk menunggu kedatangan teman saya. Aku
cepat-cepat mikir. Sampai di kamar kontrakan yang berukuran empat kali empat. Aku
merebahkan badan yang capek bolak-balik dari kota tempatku belajar ke kota
kecamatan. Lalu balik lagi ke kota tempatku belajar. Rencananya untuk menunggu
kedatangan teman dari Jakarta.
Ketika
orang-orang seperti di kejar-kejar waktu. Begitu orang-orang di kejar oleh
impian itu sendiri. Datang dan pergi menelusuri stasiun, terminal dan bandara. Ada yang menenteng tas bagai
menenteng harapan. Ke kota, sebab kota telah banyak menjanjikan pekerjaan. Apa
pun nantinya profesi. Tidak perlu pusing-pusing mencari lowongan yang banyak di
tawarkan. Mulai dari arsitektur bangunan-bangunan kota, sampai teknik tata
kota. Mulai dari pegawai swasta, pemerintahan pun kerap menjanjikan harapan
bagi mereka untuk honorer di sebuah instansi pendidikan. Tak lebih dari sebuah
harapan dan masa depan yang aman.
Namun
kenyataan di jalanan. Orang-orang menutup hidung dari debu. Asap kendaraan yang
terus mengulung Co2 sampai ke angkasa. Di setiap simpang, dan setelah
perempatan. Selalu saja macet menjadi pemandangan yang luar biasa. Awalnya,
untuk menemui janji dengan teman mesti di undur. Bukan biasa bagi saya
menyaksikan pemandangan ini di negeri yang mengusung kemajuan. Industri dan
beton-beton nampak merenung dan menunggu untuk di hitung.
Telepon
itu berdering lagi. Aku yang baru sadar bahwa penat menjalar di sekujur tubuh
mulai terasa menggerayang. Perlahan, ku raih ponsel genggam di atas meja.
Dengan pemandangan mata yang kunang-kunang, ku baca pesan singkat dari teman
saya di negeri seberang. Masih dari Romi.
“Dik,
saya ambil tiket lagi hari Kamis jam sepuluh pagi.”
“Rom,
jangan telat lagi, dan jangan ngaret lagi.”
“Haha.”
“Lho
kok ketawa, saya sarankan ngucap tiga kali!”
“Ngucap,
ngucap, ngucap.”
“Haha
haha, ok lah kalau begitu, nanti saya jemput ke bandara.
Mata
yang terasa nyelang mulai kendor. Sementara dari kejauhan masih terdengar suara
desing kendaraan. Suara cemprengan yang keluar dari knalpot kendaraan seolah
menghiasi sunyinya malam. Di sela-sela kesunyian itu, ku coba untuk menenangkan
pikiran kembali biar esok pagi terasa cerah dan matahari bersinar untuk
menggantikan malam yang hitam setelah terpanggang.
Pagi
Kamis yang berembun memang beda dengan pagi Senin yang sibuk. Orang-orang berkejaran
mengejar waktu. Mengejar absen di kantoran, mengisi tanda-tangan untuk
mahasiswa di jam pelajaran. Mengejar kultum pagi di sekolah. Pagi ini saya
lihat matahari telah membangunkan orang-orang dari mimpinya. Siapa pun itu,
berusaha memulai kembali kesibukannya di muka bumi. Menjemput waktu.
Seperti
saya yang kembali merasa bugar. Terjaga
di kala fajar mulai menyingsing. Memulai pagi dengan beberapa potong ayat,
dengan suara nyanyian yang saya dengar dari radio. Ku lihat jarum jam telah
menunjukkan jam tujuh pagi. Sebelum ke Bandara, saya mesti ke kampus,
mengunjungi pustaka yang megah dengan tembok-tembok beton. Mengembalikan buku ku pinjam beberapa hari yang lalu.
Dengan
semangat reunian bertemu dengan teman. Saya pakai sepeda motor teman buat ke
bandara. Semantara jam telah menunjukkan jam 12 siang. Menggunakan jaket warna
hitam, aku menelusuri jalan raya yang agak semraut. Beberapa buah porboden yang
kerap di langgar. Saya pikir lagi. Memang beginilah potret negeri yang
berkembang seperti di negeri saya. Tapi, saya tetap bangga, masih bisa
menghirup udara khatulistiwa yang katanya masih hijau.
Saya
telah sampai di bandara. Ponselku bordering lagi. Ku angkat telepon genggam,
ada pesan singkat.
“Dik,
saya sudah di bagasi.”
“Saya
di depan pintu keluar.”
Suasana
kedatangan yang menyenangkan. Memang terasa berbeda ketika SMA dulu. Adit yang
rambut panjang terlihat seperti seorang seniman. Saya anggap dia telah menjadi
pekerja seni setelah beberapa tahun tinggal di kota yang padat penduduknya.
Sangat berbeda dengan penampilan saya yang cuma pakai celana jeans yang telah
lusuh.
Romi
mengawali perbincangan. Seperti perbincangan sahabat yang banyak menceritakan kenangan. Terutama kenangan yang
menjadi momen untuk memilih menjadi seorang mahasiswa, yang kata orang mudah
dan gampang. Namun begitu, susah duka, senang sukanya cukup menjadi pelajaran
yang berharga. Saya sempatkan untuk bertanya.
“Kok
kamu kemarin ketinggalan pesawat Rom?”
“Itulah,
salah saya memang, namun ada beberapa faktor lain. Saya pikir justru
ketinggalan pesawat membuat peluang.”
“Maksudmu?”
“Kemarin-kemarin
tiga kali penerbangan pesawatnya yang delay, bahkan sampai sejam dua jam. Eh, kemarin
dengan belajar dari pengalaman, saya pikir begitu, cuma telat lima menit, ya
sudah, saya ketinggalan pesawat.”
“Aneh
juga tuh, justru sekarang karena kamu yang telat, malah di tinggalin.”
“Hmm,
seakarang Indonesia nggak ngaret, nggak seperti yang sebelum-sebelumnya.”
“He
he, benar juga kamu Rom.”
Di
tengah-tengah kerumunan orang-orang di bandara. Ada yang datang dan pergi.
Berangkat pada waktu yang tepat. Kadang tepat pada waktunya sering mengalami keterlambatan
yang tak terduga. Begitu juga dengan
Adit dengan keterlambatan sebelumnya. Sekarang tiba pada waktu yang tepat.
Ketika segala sesuatu sudah terencana dengan segala daya dan upaya. Apa pun
yang pasti hanya rencana. Esok masih dalam bayangan. Secara sadara atau tidak
sadar. Saya dan Adit telah menyeberangi jalan layang yang terhubung dari bandara menuju jalan kota.
Aspal
yang hitam. Terlihat melekang oleh terik
matahari siang. Kendaraan terus berjalan menyusuri jalan raya. Melaju dengan
cepat, mengahantar pada tempat-tempat yang di rencanakan. Ruas-ruas jalan yang
terasa semakin sempit. Namun beribu kendaraan terus memacu denyut jantung.
Denyut kehidupan yang terus bergetar. Ada beberapa yang macet. Orang-orang yang
mengejar waktu yang tak pernah terasa bertepi. Terus bergerak bagaikan putaran.
Putaran roda yang terbuat dari karet. Bahkan karena kesemrautan ada yang delay.
No comments