Begini. Saranku lebih baik kamu baca lebih teliti. Karena saran ini cuma seperti tulisan coret-coret pada sampul sebuah buku yang di miliki anak SMP atau, seperti coret-coret anak SMA yang pulang naik angkot, lalu dengan iseng mereka mencoret dinding interior angkot dengan spidol. Jarang orang yang menulis merasa bertanggung jawab atas tulisan itu.
“Kamu nggak percaya?”
“Kalau begitu, kamu bisa saja untuk meneliti, cuma dengan memakai sebuah HP kamera kamu bisa ambil buktinya”.
“Saya tahu alasan apa yang membuat kamu untuk tidak percaya?”
Sepulang dari sebuah tempat keramaian, saya melihat gelagat seorang laki-laki yang masih remaja yang pakai jenggot menatap wajah seorang laki-laki tua membuang sampah di sembarang tempat. Pada hal, di sisi tembok jelas-jelas tertulis “terima kasih telah membuang sampah pada tempatnya”. Naluri saya seolah mendengung hebat.
“Sembarangan adalah tempat sampah”. Salah tidak, kalau saya ucapkan begitu?”
Tidak pernah tahu saya kalau tempat sampah ada di mana-mana. Pada umumnya begitu. Sampah tidak memiliki tempat yang pasti. Sampah bisa saja orang buang ke sungai, selokan, emperan toko, koridor, bahkan tiada jelas tempat sampah yang pasti. Mau marah. Pada siapa sampah mau marah. Tapi sampah tak mau mendengar kata-kata. Tapi pasti sampah bukan makhluk hidup. Sampah.
Apa kurang sampah setiap hari. Dari dalam mobil bagusnya yang mengkilap saja berani tangan-tangan melempar sampah ke jalanan. Bahkan, saya bisa tebak, karena masih ada tukang sampah yang akan membersihkan pekarangan-pekarangan kota. Jujur saja. Setiap pagi pemulung lewat membersihkan sampah. Laki-laki tua itu.
Sebaiknya pemandangan di sini bagus dan indah. Bisa membuat mata-mata yang lelah melihat menjadi segar kembali. Lebih bagusnya, mereka bisa bermain bola. Lapang, asri. Namun, ada saja yang membuat pemandangan menjadi terganggu. Beberapa daun bekas yang terkesan siap di panggang tergolek hebat di tepi taman itu. Dia terkulai layu. Begitulah, membuat mata menjadi tidak nyaman.
Saya perhatikan selalu. Kamu pergi dari rumah membawa botol minuman yang kamu beli di supermarket tadi malam. Sesampai di tempat tujuan kamu, ada saja kesenangan yang membuat kamu lupa, kalau kamu melempar bekas botolnya ke dalam bak sampah. Lantaran terburu, kamu biarkan saja ia tergolek.
Saya mau katakan padamu. Tapi kamu sibuk, banyak urusan. Malah kesibukan kamu membuat kamu tidak mau komunikasi denganku. Aku berusaha untuk mencari kamu. Mencari waktu luang untuk bisa bicara dengan kamu. Tapi apa boleh buat. Kamu terlalu sibuk.
Ada yang mau saya ajukan. Pendapat saya ini sering sekali tidak dihiraukan. Kurang sadar. Aku mau katakan kembali. Lebih baik saran saya kamu daur ulang lagi. Saya mau kamu mengerti. Untuk selamanya. Sadar.
Setelah kamu baca lagi. Kamu ambil simpulan. Jangan lupa. Istilahnya, cuci tangan sebelum makan. Tahu saja. Tangan selalu di jinjing. Tangan kamu selalu bersih.
“Oh ya, tangan kamu yang melempar sampah juga?”
“Kenapa, lempar batu sembunyi tangan?”
Tidak bisa tangan kamu sembunyikan. Bisa di lihat sama orang. Orang kecil saja tahu kalau kamu punya tangan. Sembunyikan di mana? Di kantong? Di Baju? Orang juga tahu, kalau kamu memasukkan tangan ke dalam baju. Tapi, tangan robot mainan itu bisa kamu sembunyikan. Kalau sudah rusak kamu bisa buang seperti sampah.
Jangan muluk-muluk. Pagi ini, sampah yang saya buang di tong sampah, berserakan. Entahlah. Sejak tadi malam ada saja yang membuat sampah di tong-tong sampah tergeletak begitu saja. Aku usahakan agar tidak berserakan. Namun, ketika sore mau lewat, sampah kembali muncul.
“Aduh! Samapah-sampah-sampah! Kenapa setiap hari selalu ada sampah?”
Aku tak mau lupa. Khilaf boleh. Karena itu adalah sifat manusia. Jangan tunjuk sembarangan. Saya saja, sisa-sisa kertas-kertas tugas yang banyak dan tidak dipakai, membuat mata saya melek. Mau aku buang saja. Tapi, aku tak mau jadi sampah.
Sampah tidak bernyawa seperti kucing. Kucing saja yang berkaki empat, mau mencari sisa makanan manusia ke dalam tong sampah. Buktinya. Tadi malam, saya dengar kucing menggarong. Mengais-ngais sesuatu di dalamnya.

“Pak, kapan ya kita tidak punya sampah?”
Berani saja saya menanyakan hal itu. Tapi, orang yang saya tanya tidak mau menjawab. Kemudian, saya tanya lagi pada seorang laki-laki berjenggot tipis.
“Bang, sampah ada di sembarang tempat ya Bang?”
“Apa? Sampah mana bisa jalan kaki.” Jawabnya sinis.
Aku jadi malu juga. Pertanyaan saya ini terlalu membingungkan. Saya juga dibikin bingung. Kenapa ada saja sampah yang bermunculan setiap hari.
Dengan penuh semangat, aku menulis sebuah route daur sampah. Mulai dari saya. Saya menulis di kertas, kemudian saya print. Lalu, tulisan yang saya print setelah saya ulang baca, belum memuaskan hati pembaca. Maksud saya, saya sendiri sebagai pembaca. Ya sudah. Saya rimuk-rimuk. Saya masukan saja ke dalam tong sampah.
Di rumah kos saya juga. Ibuk kos memasak ikan, sehabis di bersihkan, ada sisa potongan, lalu kadi sampah. Kemudian, ada juga plastik kantong belanjaan, tidak di pakai di buang juga. Ujungnya jadi sampah. Untung saja ibu buang sampah di tong sampah. Lalu beberapa hari setelah itu, di bakar dalam sebuah unggunan.
Tapi, ide ini aku kira terlalu murahan. Masak sampah di jadikan ide untuk tulisan seperti ini. Cerpen lagi. Bukankah cerpen adalah karya tulis kreatif yang bisa dibaca oleh pembaca dan di ambil nilai moralnya. Terserah, pembaca mau bilang ini ide bagus, atau ini ide sampah. Terserah.
Saya mau menyerah. Karena saya sendiri sudah membikin sampah. Bagai orang-orang yang siap membeli bahan makanan dengan bungkus plastik, habis di minum, ya sudah di buang saja. Untung orang yang mau memikirkan sampah mau membuang sampah di tempatnya.
“Nah, ada juga orang yang mau buang sampah di tempat sampah.”
“Aku pikir, sampah telah ada tempatnya.”
Aku hampir lupa. Menuliskan daur sampah. Sampah dari sisa makanan atau minuman. Kemudian, setiap yang makan membuang sampah.
“Stop!”sampah musti di stop!”
“Apa? Di stock?”
“Kamu dengar tidak. Di stop! Bukan di stock!”
Kamu memang terlalu sibuk. Rasa capek juga menghampiri ketika sehabis kerja. Enggan juga mau melirik sekali saja. Sampah di pinggir jalanan menjadi berpacu dengan orang-orang yang lewat. Sampah ada juga di sembarang tempat.
Tapi, tangan-tangan itu. Membuang sampah di disembarang tempat.
“Aku tidak mau! Titik!”
“Mau kamu apa sih?”
“Masih tidak percaya?”
“Alah jangan bohong. Aku juga buang sampah di tempat sampah.”
Pergulatan itu sepertinya semakin memanas. Seperti para pakar politik yang berdebat soal tender. Eh. Soal kebaikan bersama. Bukan sama-sama menggalakkan kesejahteraan tanpa sampah. Menurut garis daur ulang sampah agar sampah tidak jadi alasan.
“Aku juga tidak mau disalahkan!”
“Kamu mau?”
Pasti tidak mau orang disalahkan untuk membuang sampah di tong sampah. Siapa pun itu. Karena setiap orang juga punya hak untuk membela. Sama seperti orang yang membela sampah. Dengan sekonyong-konyongnya mau membuang sampah di tempat sampah.
Sudah jelas. Bagi saya. Bagi saya pembaca. Sampah tidak bisa dihindari. Karena sampah muncul saja bagai pemandangan yang terabaikan di negeri ini. Sudahlah. Terima kasih telah membuang sampah pada tempatnya.
“Sudah percayakan?”.
Makanya, seperti saran saya di awal-awal tadi. Lebih baik di teliti dulu, sebelum di ambil simpulannya.
No comments