Biografi
Pengetahuan
KURT COBAIN
POPULARITAS
menjadi impian hidup yang jamak menghinggapi kalangan muda yang menghirup udara
awal milenia ketiga. Jika kesuksesan dapat didefinisikan, popularitas termasuk
ke dalam salah satu ciri utamanya. Belakangan ini, di berbagai stasiun televisi
kita gencar sekali disajikan tayangan-tayangan semacam reality show yang
memikat kalangan muda dengan janji pemenuhan obsesi popularitas mereka.
Tidak banyak
orang yang berpikir tentang sisi gelap popularitas. Popularitas terlalu sering
diidentikkan dengan tahap pencapaian yang memungkinkan seseorang dapat
menikmati hidup dengan segala kemudahan dan kenyamanannya.
Kisah hidup
Kurt Cobain, vokalis kelompok Nirvana yang oleh majalah Rolling Stones
dimasukkan ke dalam kategori 50 artis terbaik sepanjang masa, berakhir dengan
tragedi bunuh diri. Hal itu dipaparkan dengan baik dalam buku Heavier Than
Heaven; Biografi Kurt Cobain. Melalui buku itu, Charles R Cross ingin
mengatakan bahwa
Popularitas
ternyata juga menyimpan sisi-sisi kelam yang kadang terasa absurd.
Kurt Cobain
lahir di Aberdeen, sebuah kota yang khas dengan industri penggergajian di
negara bagian Washington, 20 Februari 1967. Sejak kecil ia sudah memperlihatkan
berbagai bakat dan kecerdasan, baik di bidang olahraga maupun seni. Kurt masuk
dan berperan besar dalam tim bisbol dan gulat di sekolah. Dia juga sangat
menyukai pelajaran seni dan senang melukis.
Tapi
kehidupan Kurt dalam keluarganya begitu suram, terutama sejak perceraian kedua
orang tuanya, ketika ia berusia sembilan tahun. Peristiwa itu menjadi bencana
emosional terbesar dalam hidupnya. Kurt jadi membenci kedua orang tuanya.
Apalagi ketika ayahnya menikah lagi dan ibunya berpacaran dengan pemuda yang
umurnya hanya tujuh tahun lebih tua darinya.
Peristiwa
itu mengubah Kurt menjadi sosok pemurung, tertutup, dan berandal. Kurt kemudian
mulai berkenalan dengan dunia obat-obatan hingga akhirnya putus sekolah.
Jalan menuju
popularitas Kurt di jalur musik juga tidak mudah diraih. Di masa-masa awal
sebelum sukses, Kurt bersama personel Nirvana lainnya kadang harus menempuh
jarak ratusan hingga ribuan mil untuk melangsungkan konser promosi album
pertamanya, Bleach. Penontonnya pun kadang cuma 20 atau belasan orang.
Bayarannya hanya cukup untuk mengganti bensin.
Tapi semua
perjuangan keras Kurt terbayar ketika album kedua Nirvana, Nevermind,
hadir dengan hentakan dahsyat sehingga mengguncang peta musik internasional.
Album yang dirilis September 1991 itu dengan cepat bertengger di puncak teratas
tangga lagu Billboard, menggeser Dangerous-nya Michael Jackson. Seiring
dengan itu pula, popularitas Kurt dan Nirvana mencuat luar biasa.
Pada titik
inilah kemudian pelan-pelan mulai terlihat sisi-sisi suram popularitas
sebagaimana dialami Kurt. Sikap dan gaya hidup Kurt yang memang penuh
kontradiksi dan kontroversi, keterlibatannya dengan dunia narkoba, menurut
pengakuan Kurt juga dipicu oleh penyakit perut yang dideritanya sejak lama.
Kisah kehidupan keluarganya dengan Courtney Love, semua menjadi bahan menarik
untuk diangkat media.
Pemberitaan
dari tabloid The Globe dan majalah Vanity Fair tidak lama setelah
kelahiran anaknya, Frances, misalnya. Bagi Kurt dan istrinya tampak seperti
penghakiman bahwa keduanya tak berhak mengasuh anaknya itu, dengan mengabaikan
kenyataan bahwa Frances lahir dengan sehat. Karena itulah, pada tingkat
tertentu, Kurt kadang mengalami semacam paranoid terhadap media, khawatir bila
ternyata apa yang diberitakan tentangnya justru sesuatu yang tak ia
sukai--entah itu karena berupa fitnah maupun semacamnya.
Rasa putus
asa dalam mengatasi problem kecanduannya serta untuk memperbaiki kehidupan
keluarganya, baik dalam relasinya dengan kedua orang tuanya maupun keluarganya
sendiri, mengantarkan Kurt pada satu kondisi depresi yang luar biasa. Akhirnya,
di awal April 1994, Kurt ditemukan bunuh diri di rumahnya dengan meledakkan
kepalanya sambil mengonsumsi obat-obatan, setelah beberapa hari sebelumnya
kabur dari rumah sakit di Los Angeles, tempat ia dirawat untuk mengatasi
kecanduannya.
Meninggalnya
Kurt akibat bunuh diri ini menambah daftar panjang para artis dan orang-orang
ternama lainnya yang mengakhiri hidup dengan cara yang tragis itu. Sebelumnya
tercatat nama Jim Morrison, Jimi Hendrix, dan Janis Joplin, para musisi yang
secara kebetulan sama-sama meninggal di usia 27, seperti juga Kurt.
Charles R
Cross menyajikan kisah hidup Kurt Cobain dalam buku ini dengan cukup detail dan
komprehensif. Dengan dibagi ke dalam 24 bab, Cross mengimbuhkan catatan
keterangan waktu dan tempat di tiap awal bab sehingga pembaca akan cukup mudah
menelusuri alur hidup Kurt. Cross, yang menjadi editor di majalah musik The
Rocket, cukup berhasil memperlihatkan berbagai segi manusiawi Kurt, seorang
artis terkemuka yang gema pengaruhnya hingga kini masih terasa, terutama di kalangan
muda.
Segi-segi
manusiawi yang penuh lika-liku dari jejak kehidupan Kurt disampaikan dengan
keahlian bertutur yang indah dan menawan; tentang perjuangan Kurt yang
berkreasi dengan penuh kerja keras di dunia musik, bagaimana karya-karya
musiknya itu lahir, Kurt kecil dan remaja yang merasa terabaikan dan terbuang
di keluarganya, Kurt yang merasa dieksploitasi oleh media dan para
penggemarnya, serta hubungan-hubungan kemanusiaan yang rumit antara Kurt dan
orang di sekelilingnya. Cross cukup berhasil menuturkan semua itu dengan
keterlibatan emosi yang mendalam, sehingga pembaca buku ini dapat berempati dan
masuk ke relung suasana setiap peristiwa.
Kelebihan
utama buku ini lebih terlihat karena Cross berhasil menghimpun dan mengolah
segudang data yang cukup berharga tentang kehidupan Kurt itu sendiri.
Cross tidak
sedang bergosip atau sekadar menyajikan isu-isu murahan tak berdasar tentang
kehidupan Kurt. Empat ratus wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat
dengan kehidupan pribadi dan karier Kurt di dunia musik dilakukan Cross selama
sekitar empat tahun.
Belum lagi
berbagai arsip dan dokumen penting berkaitan dengan Kurt yang ditelusuri Cross,
seperti catatan medis dan kepolisian, serta catatan harian yang ditulis Kurt
sendiri.
Meski
diterjemahkan secara keroyokan oleh tiga orang, buku itu cukup enak dibaca.
Pilihan kata dan strukturnya sengaja dibuat lebih populer sehingga dalam
dialog-dialognya kita akan banyak menjumpai kata-kata yang tidak baku, seperti 'kalo,
ancur', dan sebagainya. Beberapa ungkapan bahasa Inggris yang dalam konteks
Indonesia saat ini juga sedang populer dan sering digunakan sehari-hari,
seperti ungkapan so what, oleh penerjemahnya tetap dibiarkan dalam
bahasa Inggris. Dengan cara ini, suasana dan karakter tokoh-tokoh di buku itu,
yang kebanyakan memang anak muda, menjadi lebih kental terasa.
No comments